SEJARAH
Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti
13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara
Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku
Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin
ikut campur urusan dalam negeri raja-raja
Jawa waktu itu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh
Sultan Hamengku Buwono I,
rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan
kepada sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton.
Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan
kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda
yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala
perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu
jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan
utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat
dimanfaatkan sebagai benteng strategi,
intimidasi,
penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng
tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan
memalingkan muka memusuhi Belanda.
Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang
dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan
menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada
masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun
benteng dikabulkan.
Tahun 1760–1765
Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng
Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan
HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk
bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut
seleka atau bastion. Oleh sultan keempat sudut tersebut diberi nama
Jayawisesa (sudut barat laut),
Jayapurusa (sudut timur laut),
Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan
Jayaprayitna (sudut tenggara).
Menurut penuturan Nicolas Hartingh, bahwa benteng tersebut keadaannya
masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan
tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di
dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang. Sewaktu
W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, pada tahun 1765
diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang
lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan,
selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan seorang
Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak.
Pada awal pembangunan ini (1760) status tanah merupakan milik
kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC)
dibawah pengawasan
Nicolas Hartingh, gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang.
Tahun 1765–1788
Usul Gubernur
W.H. Van Ossenberg (pengganti
Nicolaas Hartingh)
agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767.
Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih terarah
pada satu bentuk benteng pertahanan.
Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu
juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut
berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi
karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan
tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan
Kraton Yogyakarta. Setelah selesai bangunan benteng yang telah
disempurnakan tersebut diberi nama
Rustenburg yang berarti 'Benteng Peristirahatan'.
Pada periode ini secara yuridis formal status tanah tetap milik
kasultanan tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya
dipegang oleh
Belanda.
Tahun 1788 – 1799
Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya
VOC tahun
1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara
de facto menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda.
Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda.
Tahun 1799–1807
Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan,
tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche
Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng
tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.
Tahun 1807–1811
Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninkrijk
Holland (Kerajaan Belanda). Maka secara yuridis formal status tanah
tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah
Kerajaan Belanda di bawah Gubernur
Herman Willem Daendels.
Tahun 1811–1816
Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai
Inggris di bawah Letnan Gubernur
Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.
Tahun 1816–1942
Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat
sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung
Residen (yang dibangun tahun 1824),
Tugu Pal Putih,
dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain.
Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg
segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak.
Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama
Rustenburg diganti menjadi
Vredeburg
yang berarti 'Benteng Perdamaian'. Nama ini diambil sebagai manifestasi
hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak
saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar.
Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut
seleka atau
bastion.
Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit.
Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit,
gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen.
Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk
petugas medis dan paramedis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia
Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang
bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor
residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.
Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu
ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan
fungsi bangunan Benteng Vredeburg.
Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh
Belanda
maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi
masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala
Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan
ditandai dengan
Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.
Masa Jepang
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1
tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di
bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang
berkantor di Gedung Tjokan Kantai (
Gedung Agung).
Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di
pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng
Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras
dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat
penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap.
Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan
gerakan menentang Jepang.
Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan
persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan
terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di
setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan
pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin.
Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk
mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942
sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan
nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan.
Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara
yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas
tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan
Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
Masa Kemerdekaan
1945-1970-an
Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan
perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya
Pernyataan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh
Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.
Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran
bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata
Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta,
menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru
Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik
Jepang, Benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi.
Setelah benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya
penanganannya diserahkan kepada instansi militer yang kemudian
dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam
pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang
bertugas mengurusi perbekalan militer. Oleh karena itu tidak mustahil
bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai
markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu, dan
sebagainya. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan
rumah sakit tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam
perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta
keluarganya.
Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan di
saat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi.
Meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu
percobaan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena
usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa
tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap.
Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.
Pada masa
Agresi Militer Belanda II
(19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas
militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor
Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang
Maguwo,
tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van
Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg.
Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara
Belanda yang tergabung dalam IVG (
Informatie voor Geheimen),
yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Di samping itu Benteng Vredeburg
juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk
menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer
lainnya.
Ketika terjadi
Serangan Umum 1 Maret 1949,
sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI
bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu
sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti
kantor pos, stasiun kereta api,
Hotel Toegoe,
Gedung Agung, dan
tangsi Kotabaru.
Kurang lebih 6 jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta
rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara Belanda yang
didatangkan dari
Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan
gerilya.
Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (
Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada
Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu
Ki Hadjar Dewantara
pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan
sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena
terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan
G 30 S
tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan
sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S yang
langsung berada di bawah pengawasan
Hankam.
Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat
nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang
dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha ke arah
pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.
Tahun 1977–1992
Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah
diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta.
Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian
tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB
IX (pihak I) dan Mendibud Dr.
Daoed Joesoef (pihak II).
Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang
Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat
POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas
Garnisun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut
merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun
1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar
budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981.
Tentang pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr.
Nugroho Notosusanto
(Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan
bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan
nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Piagam perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor
359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan
tata ruang bagi gedung-gedung di dalam kompleks benteng Vredeburg
diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk
selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian
dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum.
Tahun 1992 sampai sekarang
Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr.
Fuad Hasan
nomor 0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng
Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum
Benteng Yogyakarta.
Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal 5
September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan
Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY
Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum
Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang
berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang
Sejarah dan Purbakala.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum
Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi
yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang
berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang
Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan,
pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan
memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.
LOKASI
Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 6
Yogyakarta
Telepon : (0274) 586934
Benteng Vredeburg dapat diakses dengan mudah. Karena berada didekat Nol Kilometer Yogyakarta, Taman Pintar dan juga Malioboro.
Jika menggunakan Trans Jogja dapat menaiki 3A atau juga bisa 2A. akan ada halte Trans Jogja yang berhenti di depan pintu masuk benteng Vredeburg.
ADA APA SAJA?
Disini kita akan melihat benteng yang mengelilingi dengan ketinggian sekitar 3-5meter. Setelah masuk akan disajikan dengan pemandangan bangunan khas Jepang dan Belanda. lalu didalam ruangan itu ada diorama.
Diorama terdiri dari 4 bagian yang dipisahkan dalam 2 gedung yang
berbeda. Ketika saya memasuki gerbang dan kemudian masuk, saya berbelok
ke kanan, yang berisikan 2 bagian diorama. Setiap diorama mewakili waktu
atau periode yang dikisahkan dalam dioramanya. Selain itu, terdapat
beberapa patung, lukisan, grafik, dan layar sentuh yang memudahkan saya
untuk berinteraksi dan merasakan perjuangan pada masa tersebut.
Selain terdapat benteng dan diorama, juga terdapat berbagai macam
kelengkapan museum seperti perpustakaan, ruang audio visual, ruang
pertunjukan mushola, dan fasilitas lainnya.
Di dalam Benteng Vredeburg akan ada banyak
HARGA TIKET MASUK
Dewasa : Rp 2.000,-
Anak-anak : Rp 1.000,-
Parkir sepeda motor: Rp. 2.000,-
Parkir mobil: Rp. 5.000,-
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Benteng_Vredeburg