Rabu, 23 Desember 2015

Makam Bathoro Katong

SEJARAH

Bathara Katong adalah pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan Adipati pertama Ponorogo. Bathara Katong merupakan utusan Kerajaan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo.

Asal-usul Bathara Katong

Bathara Katong, memiliki nama Asli Lembu Kanigoro, adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam. Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 ia yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Ia adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).
Mulai redupnya kekuasaan Majapahit dan saat kakak tertuanya "Lembu Kenongo" yang berganti nama menjadi Raden Patah mendirikan kesultanan Demak Bintoro, Lembu Kanigoro mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.

Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu

Prabu Brawijaya pada masa hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan Reog tidak lain merupakan simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).
Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo (Wengker) dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan kasultanan Demak. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Bathara Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Setelah Bathara Katong memasuki Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah Ki Ageng Kutu menghilang, Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.

Pendirian Ponorogo

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.
Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Adapun turunan ke 7 bathara katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di Pacitan, tepatnya di Tulakan.


LOKASI

Desa Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo
Dapat diakses dengan kendaraan bermotor. karena letaknya berada di kota.


ADA APA SAJA?
 
 Makam pendiri Kota Ponorogo ini sering didatangi mereka yang berharap bisa naik pangkat atau ingin menjadi pejabat. Selain syaratnya harus berjalan dengan melewati tujuh gapura, jika ingin terkabulkan dilarang membawa bunga ziarah bercampur daun pandan wangi.
 itu semua hanya mitos, namun banyak yang mempercayai hal itu.
sebenarnya yang dapat mengabulkan segala sesuatu adalah Tuhan Yang Maha Esa.
makam Bathara Katong 
memang agak berbeda dengan makam- makam raja atau para tokoh lainnya. Makam yang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk ini memiliki tujuh gapura pintu masuk yang melambangkan lapisan langit sebagaimana yang dipaparkan dalam kisah Isra’ Mi’raj.
Karenanya, bagi siapa saja yang memang benar-benar berharap berkah dari sang Bathara, maka dia harus rela berjalan menyusuri tiap gapura yang antara satu dengan lainnya berjarak sekitar 200 meter. Jadi tentu butuh sedikit pengorbanan, demi menggantung- kan harapan pada sang tokoh.
Sebagaimana di tempat lain, untuk bisa mewujudkan harapan, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi pa­ra peziarah. Selain berwudhu dengan air dari gentong keramat, ada larangan yang harus ditinggalkan yaitu tidak boleh ada daun pandan dalam campuran bunga yang digunakan untuk ziarah.
“Biasanya kalau kita beli bunga, di dalamnya pasti dicampurkan irisan daun pandan wangi. Nah, kalau mau ke sini, daun pandan itu harus dibuang. Sebab Kanjeng Bathoro Katong tidak suka. Dan bila tidak suka berar­ti apa yang kita harapkan tentu akan sulit terkabul,” terang Mukim. Entah apa yang menyebabkan Ba­thara Katong tidak suka dengan daun pandan. Namun Mukim memberikan sedikit penjelasan bahwa daun pandan adalah salah satu senjaia andalan Ki Ageng Kutu yang sempat membuat Bathara Katong kerepotan dan dipukul mundur. Karena itulah, daun pandan ini harus ditiadakan dari makam ini, agar tidak sampai mempengaruhi kekuatan gaib yang terpancar dari makam ini. Sebab dengan berkurangnya kekuatan itu, maka bukan tidak mungkin keistimewaan makam yang bisa membuat orang naik pangkat akan berkurang.
Mukim juga menjelaskan bahwa bunga yang paling baik untuk diserahkan pada arwah Bathara Katong adalah bunga talon yang terdiri dari mawar, kantil dan kenanga. Kalau misalnya tidak membawa bunga talon, bunga melati saja sudah cukup. Bahkan konon banyak para pengalab ber­kah yang sukses hanya dengan mem­bawa bunga melati. Terutama mereka yang memang memiliki niat suci sesuci bunga melati. 
 HARGA TIKET MASUK
Rp. 2000,00
harga tiket
 



 Sumber:
Wawancara dengan juru kunci
https://id.wikipedia.org/wiki/Bathara_Katong
 http://ponorogo-kota-reog.blogspot.co.id/2014/03/makam-batoro-katong-ponorogo.html

Langgar Kyai Ahmad Dahlan

SEJARAH


Muhammadiyah tak dapat dijauhkan dari Kampung Kauman Yogyakarta, begitu pula sebaliknya. Paling tidak karena dua sebab musabab. Pertama, menurut salah satu riwayat disebutkan sang pendiri Muhammadiyah; K.H. Ahmad Dahlan, adalah putra kelahiran Kampung Kauman Yogyakarta. Sedangkan riwayat lain menyebutkan Kiai lahir di Nitikan dan barulah beberapa hari setelah kelahirannya dibawa ke Kauman. Kedua, ikrar berdirinya Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial pendidikan berasaskan Islam terjadi di Kampung Kauman Yogyakarta. Karenanya antara Muhammadiyah dan Kampung Kauman Yogyakarta memiliki ikatan historis, basis sosial, dan emosional yang tak mungkin dapat dipisahkan. 

Mempelajari perjuangan Islam di Nusantara akan kita temui Muhammadiyah. Mempelajari Muhammadiyah tepatnya dimulai dengan mempelajari kehidupan dan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Untuk memulai usaha mengenali sosok Kiai tepatnya diawali dari ruang-ruang Kauman; tempat di mana Kiai tumbuh besar, memulai perjuangan, dan kembali kehadirat Rabb-nya pada hari Jumat tanggal 7 Rajab 1341 Hijrah Nabi/23 Februari 1923. Walaupun kemudian jasad Kiai tidak dimakamkan di Kauman, namun jejak dan semangat perjuangannya masih membekas dalam ruang-ruang yang pernah merekam. 
Pada hari ahad tanggal 4 Safar 1435 Hijrah Nabi/8 Desember 2013, kira-kira 90 tahun dalam perhitungan penanggalan masehi setelah wafatnya Kiai atau 94 tahun dalam perhitungan penanggalan hijriyah, penulis bersama 11 rekan berkunjung ke Kampung Kauman Yogyakarta untuk napak tilas jejak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan guna mengambil ibrah dan meneladani kisah hidup dan perjuangan salah seorang ulama yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk menegakkan Islam di bumi Hindia Timur pada masanya. Ditemani mas Ghifari dan mas Priyo dari Komunitas Blusukan Kampoeng Jogja, kami menelusuri dan memasuki satu persatu ruang yang menjadi saksi bisu perjuangan K.H Ahmad Dahlan. Ruang yang telah menua oleh sebab waktu, namun tak dapat menghapus kenangannya. 


LOKASI

Berlokasi di Kampung Kauman, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta

Dari masjid Gedhe Kota Yogyakarta, dapat melewati kampung Kauman. kemudian ke arah kanan masjid. ada ghang menuju kampung kauman. lurus saja hingga menemukan Langgar Ahmad Dahlan


ADA APA SAJA?

Langgar Ahmad Dahlan sekarang digunakan sebagai tempat untuk museum. menyimpan barang-barang bersejarah tentang Muhammadiyah.
dapat juga melihat bangunan bekas sekolah muhammadiyah.








 
HARGA TIKET MASUK

Harga tiket masuknya GRATIS.
cukup memasukkan uang di kotak amal sesuai dengan hati nurani anda masing-masing.

 
sumber:
Ibu Tinuk sebagai penjaga langgar Ahmad Dahlan
http://www.andikasaputra.net/2013/12/jejak-perjuangan-kh-ahmad-dahlan-dalam.html

 

Senin, 21 Desember 2015

Benteng Vredeburg Yogyakarta


SEJARAH

Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda.
Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.

Tahun 1760–1765

Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Menurut penuturan Nicolas Hartingh, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang. Sewaktu W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, pada tahun 1765 diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak.
Pada awal pembangunan ini (1760) status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolas Hartingh, gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang.

Tahun 1765–1788

Usul Gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.
Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti 'Benteng Peristirahatan'.
Pada periode ini secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda.

Tahun 1788 – 1799

Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda.
Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda.

Tahun 1799–1807

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.

Tahun 1807–1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninkrijk Holland (Kerajaan Belanda). Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Herman Willem Daendels.

Tahun 1811–1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.

Tahun 1816–1942

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti 'Benteng Perdamaian'. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan paramedis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg. Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg.
Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.

Masa Jepang

Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.
Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

Masa Kemerdekaan

1945-1970-an

Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.
Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik Jepang, Benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi.
Setelah benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada instansi militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Oleh karena itu tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu, dan sebagainya. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan rumah sakit tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.
Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan di saat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi. Meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.
Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Di samping itu Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya.
Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti kantor pos, stasiun kereta api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.
Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S yang langsung berada di bawah pengawasan Hankam.
Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha ke arah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.

Tahun 1977–1992


Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta. Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daoed Joesoef (pihak II).
Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnisun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981.
Tentang pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Piagam perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam kompleks benteng Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum.

Tahun 1992 sampai sekarang

Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor 0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal 5 September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.

LOKASI

Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 6
Yogyakarta
Telepon : (0274) 586934

Benteng Vredeburg dapat diakses dengan mudah. Karena berada didekat Nol Kilometer Yogyakarta, Taman Pintar dan juga Malioboro.

Jika menggunakan Trans Jogja dapat menaiki 3A atau juga bisa 2A. akan ada halte Trans Jogja yang berhenti di depan pintu masuk benteng Vredeburg.

ADA APA SAJA?


Disini kita akan melihat benteng yang mengelilingi dengan ketinggian sekitar 3-5meter. Setelah masuk akan disajikan dengan pemandangan bangunan khas Jepang dan Belanda. lalu didalam ruangan itu ada diorama.
Diorama terdiri dari 4 bagian yang dipisahkan dalam 2 gedung yang berbeda. Ketika saya memasuki gerbang dan kemudian masuk, saya berbelok ke kanan, yang berisikan 2 bagian diorama. Setiap diorama mewakili waktu atau periode yang dikisahkan dalam dioramanya. Selain itu, terdapat beberapa patung, lukisan, grafik, dan layar sentuh yang memudahkan saya untuk berinteraksi dan merasakan perjuangan pada masa tersebut.
Selain terdapat benteng dan diorama, juga terdapat berbagai macam kelengkapan museum seperti perpustakaan, ruang audio visual, ruang pertunjukan mushola, dan fasilitas lainnya. 
Di dalam Benteng Vredeburg akan ada banyak


HARGA TIKET MASUK



Dewasa : Rp 2.000,-
Anak-anak : Rp 1.000,-

Parkir sepeda motor: Rp. 2.000,-
Parkir mobil: Rp. 5.000,-



Sumber:
 https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Benteng_Vredeburg

Candi Penataran, Blitar, Jawa Timur




SEJARAH

            Nama asli candi Penataran dipercaya adalah Candi Palah yang disebut dalam prasasti Palah, dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menangkal atau menghindar dari mara bahaya yang disebabkan oleh Gunung Kelud yang sering meletus. Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk, yang memerintah kerajaan Majapahit antara tahun 1350 – 1389, ke Candi Palah untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Acalapat, perwujudan Siwa sebagai Girindra (Giri Indra, raja penguasa gunung).

             Kesamaan nama Girindra yang disebut pada kitab Negarakretagama dengan nama Ken Arok yang bergelar Girindra atau Girinatha menimbulkan dugaan bahwa Candi Penataran adalah tempat pedharmaan (perabuan) Ken Arok, Girindra juga adalah nama salah satu wangsa yang diturunkan oleh Ken Arok selain wangsa Rajasa dan wangsa Wardhana. Sedangkan Hyang Acalapati adalah salah satu perwujudan dari Dewa Siwa, serupa dengan peneladanan sifat-sifat Bathara Siwa yang konon dijalankan Ken Arok.

              Perhatian terhadap prasasti Palah kembali pada tahun 1286, pada masa pemerintahan Kertanegara. Dia mendirikan Candi Naga dengan hiasan relief naga yang disangga oleh 9 orang sebagai lambang candrasengkala ”Naga muluk sinangga jalma” atau tahun 1208 Saka.

              Pada masa pemerintahan Jayanegara candi Penataran mulai mendapat perhatian kembali, kemudian dilanjutkan pada masa Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk. Pemujaan terhadap Dewa Palah semakin kental diwarnai pemujaan kepada Dewa Gunung atau Syiwa. Candi Penataran diresmikan sebagai candi negara dengan status dharma lepas. Sesuai angka tahun yang dipahatkan didinding kolam yaitu tahun 1337 Saka atau tahun 1415 M merupakan angka tahun termuda di antara angka-angka tahun yang terdapat di kompleks candi Penataran tersebut. Waktu itu Majapahit di dalam masa pemerintahan Wikramawardhana.

               Kronik berbahasa Sunda yang berasal dari abad XV mengenai kisah perjalanan Bujangga Manik, seorang bangsawan Kerajaan Sunda, menyebutkan bahwa "Rabut Palah" masih merupakan tempat belajar agama dan tujuan ziarah yang ramai. Dalam naskah itu sang tokoh mengaku tinggal di sana selama setahun dan kemudian terpaksa pergi karena para peziarah "lebih mementingkan hal duniawi"

                 Candi Penataran pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh catatan Inggris pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), gubernur jenderal pemerintah kolonial Inggris yang pernah berkuasa di Nusantara. Seiring berjalannya waktu, kompleks candi Penataran yang dahulunya sempat terabaikan sekarang mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah dan kemudian dipugar. Kini candi ini menjadi tujuan wisata yang menarik.

LOKASI

Candi Penataran berada di 10km sebelah utara kota Blitar Jawa Timur.
Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Jawa Timur, Indonesia

Dapat diakses denngan menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. akan ada petunjuk jalan yang memandu menuju lokasi candi penataran.
 
 
ADA APA SAJA?
 
 
a. Gerbang
Panataran_Jatim_2_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_2_b_sigit.jpg
Gerbang masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat tangga turun ke pelataran seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat dua buah arca raksasa penjaga pintu (dwarapala), Pada tatakan arca tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa kuno. Berdasarkan tulisan angka tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi Panataran baru diresmikan sebagai tempat suci milik kerajaan (state temple) pada masa pemerintahan Raja Jayanegara, yang memerintah Majapahit tahun 1309-1328 M.Di sisi belakang emperan, di antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik menuju ke pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan batu bata merah. Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Panataran pada tahun 1848.
Susunan Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga sepintas kelihatan agak membingungkan. Susunan bangunan semacam ini mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam susunan seperti ini, bangunan yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling belakang, yaitu yang paling dekat dengan gunung.
b. Pelataran Depan
Panataran_Jatim_3_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_3_b_sigit.jpg
Bale Agung. Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah diantaranya tidak dapat dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu bangunan yang penting adalah Bale Agung, yang terletak di sisi barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke depan).Bale Agung, menurut N.J.Krom, dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau penanda, seperti pura di Bali. Bale Agung merupakan bangunan yang berbentuk seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X 18,84 m2 dengan lantai setinggi 1,44 meter. Dinding dan atap bangunan sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh.Pada lantai terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah sebagai penumpu tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat dari batu, dihiasi pahatan naga yang melilit di sekeliling dinding lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.
Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala. Semua arca Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.
Panataran_Jatim_4_sigit.jpg
Tempat Tinggal Pendeta. Bangunan yang letaknya di sisi utara, sejajar dengan Bale Agung, ini diperkirakan dahulu digunakan sebagai tempat tinggal pendeta. Seluruh bangunan sudah hancur, sehingga hanya tinggal tatanan umpak yang tersisa.
Panataran_Jatim_5_sigit.jpgPanataran_Jatim_6_sigit.jpg
Batur Pendapa. Bangunan ini disebut juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah tenggara Bale Agung, tepat di belakang tempat tinggal para pendeta. Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat ini hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2 dengan tinggi 1,5 m. Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.Tangga untuk naik ke lantai pendapa hanya terdapat di sisi barat atau bagian depan. Terdapat dua buah tangga, di kiri dan di kanan, yang pada masing-masing diapit oleh sepasang arca raksasa kecil bersayap, bertumpu pada salah satu lututnya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi atau dinding pembatas tangga berbentuk gelung dengan hiasan 'tumpal' yang indah pada puncaknya. Pada pelipit atas sisi timur dinding lantai, tersembunyi di antara pahatan hiasan sulur dan dedaunan, terdapat pahatan angka tahun yang menunjukkan bahwa bangunan ini dibangun pada tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi.
Batur Pendapa ini juga dihiasi dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit di sekililing dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut saling membelit, sedangkan kepalanya yang mendongak keatas, memakai kalung dan berjambul menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.
Bangunan Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang terbuat dari bata merah. Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di pelataran depan, diduga dahulu terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Banyaknya bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.
c. Pelataran tengah
Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang melintang dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.
Panataran_Jatim_7_sigit.jpg
Pelataran tengah terbagi dua lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat. Belum dapat diketahui apakah pelataran tengah ini dahulu dikelilingi oleh tembok, karena yang tertinggal hanya fondasi saja. Begitu juga tembok yang mengelilingi seluruh areal Panataran sudah runtuh. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan batu bata merah yang tak mampu bertahan dalam perjalanan waktu yang panjang.
Panataran_Jatim_8_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_8_b_sigit.jpg
Candi Angka Tahun. Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur Pendapa, seluruhnya terbuat dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun karena bangunan di atas ambang pintu masuknya jelas terpahat angka tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Candi Brawijaya, karena bangunan ini dipergunakan sebagai lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang menyebutnya Candi Ganesha, karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala gajah). Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat, sehingga seakan-akan mewakili seluruh candi Panataran.Candi Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi barat. Di halaman depan, di kiri dan kanan bangunan candi, terdapat sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk 'ukel' (gelung) besar dengan hiasan ' tumpal' berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garba grha), yang di dalamnya terdapat arca Ganesha.
Panataran_Jatim_9_sigit.jpg
Sebagaimana candi lainnya, di atas ambang pintu terdapat hiasan kalamakara. Tepat di bawahnya, tertera angka tahun yang telah dijelaskan di atas. Pada dinding di ketiga sisi lainnya terdapat relung yang menyerupai pintu semu, yang juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur, Kalamakara sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Kala di atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke lingkungan candi.Atap candi dipenuhi dengan hiasan yang meriah, dengan puncak berbentuk persegi. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief 'Surya', yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar berupa garis-garis bersusun vertikal membentuk beberapa buah segitiga sama kaki. Relief 'Surya' yang merupakan lambang Kerajaan Majapahit ini juga ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur dalam bentuk yang sedikit bervariasi.
Panataran_Jatim_10_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_10_b_sigit.jpg
Candi Naga. Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya dililit oleh pahatan berwujud naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m. dengan tinggi 4,70 m. ini juga terletak di pelataran tengah. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Seperti Candi Angka Tahun, pintu masuk ke bilik candi terletak di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga berbentuk 'ukel' berhiaskan 'tumpal'. Di kanan kiri kaki tangga terdapat arca raksasa membawa gada yang saat ini hanya tinggal satu. Bangunan yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918. Yang berhasil dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian atap yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh.
Panataran_Jatim_11_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_11_c_sigit.jpg
Pada dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di kiri dan kanan pintu masuk, di setiap sudut, dan di tengah ketiga dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam busana kerajaan yang mewah dan dilatarbelakangi oleh 'prabha' (tempat bersandar yang dihisasi dengan sinar kedewaan).Salah satu tangannya memegang genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang melingkari bagian atas bangunan. Di antara pahatan tokoh-tokoh tersebut terdapat pahatan bermotif bulatan yang disebut 'motif medalion'. Dalam bulatan terdapat kombinasi relief daun-daunan atau bunga-bungaan dan berbagai jenis binatang. Di antara bulatan-bulatan tersebut terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil. Sayang cerita yang digambarkan dalam relief ini belum dapat diungkapkan.
Panataran_Jatim_12_sigit.jpg
Menurut orang Bali yang pernah mengunjungi Panataran, fungsi Candi Naga sama dengan fungsi Pura Kehen di Bali, yaitu sebagai tempat penyimpanan benda-benda milik para dewa. Barangkali lebih tepat bila Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan kerajaan Majapahit. Selain berfungsi sebagai tempat pemujaan Kerajaan Klungkung, Pura Taman Sari juga dipergunakan sebagai tempat 'pemasupatian' (pemberian kesaktian) terhadap senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan, maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para dewa, tetapi lebih juga sebagai tempat 'pemasupatian' pusaka milik kerajaan Majapahit. Dengan demikian, untuk keperluan 'pemasupatian', pusaka-pusaka Majapahit tidak perlu dibawa ke Bali.d. Pelataran Dalam
Panataran_Jatim_13_sigit.jpgPanataran_Jatim_13_b_sigit.jpg
Halaman terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan dinding yang melintang arah utara-selatan. Di selatan juga terdapat bekas pintu gerbang yang dijaga oleh sepasang arca dwarapala. Di pelataran ini terdapat sekurangnya 9 bangunan, 2 buah yang sudah dapat dikenali adalah candi induk dan susunan percobaan bangunan tubuhnya. Ketujuh bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang masih belum terungkapkan bentuk dan fungsinya.
Panataran_Jatim_14_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_14_b_sigit.jpg
Candi Utama (Induk). Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara seluruh bangunan Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling belakang (timur), yang dianggap sebagai bagian yang suci. Bangunan candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 m.Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Di pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk naik ke teras pertama, terdapat dua buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua tangga terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun 1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding teras pertama dipenuhi pahatan relief cerita.
Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras pertama, karena pada bagian yang menjorok keluar di teras pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan dan Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion.
Panataran_Jatim_15_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_15_b_sigit.jpg
Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di pertengahan dinding. Tangga naik ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.Teras ketiga berbentuk hampir bujur sangkar. Dindingnya berpahatkan naga bersayap dengan kepala yang sedikit mendongak ke depan dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam posisi berjongkok sedangkan kaki depannya terangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga ini selain untuk mengisi bidang yang kosong juga berfungsi sebagai pilar bangunan.
Panataran_Jatim_16_sigit.jpg
Pada waktu dilakukan pembongkaran lantai teras ketiga, dalam rangka pemugaran, didapati bahwa bagian tengah lantai terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok kedepan. Berdasarkan temuan tersebut, timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi Panataran dibuat dari bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya Panataran mengalami perluasan dengan cara menutupi bangunan aslinya menggunakan batu andesit. Perluasan itu diperkirakan terjadi pada zaman Majapahit.
Panataran_Jatim_17_a_sigit.jpgPanataran_Jatim_17_b_sigit.jpg
Teras ketiga merupakan emperan kosong. Di tempat itu seharusnya berdiri tubuh candi yang sampai saat ini belum berhasil dikembalikan ke wujud aslinya karena belum semua bagian bangunan berhasil ditemukan. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di halaman candi.Prasasti Palah. Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu.
Panataran_Jatim_18_sigit.jpg
Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.e. Bangunan lain.
Panataran_Jatim_19_sigit.jpgPanataran_Jatim_19_bb_sigit.jpg
Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam 'petirtaan' (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar, yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.

 
HARGA TIKET MASUK

Harga tiekt sekitaran Rp. 3.000,-
Parkir sepeda motor: Rp. 2.000,-
Parkir mobil: Rp. 5.000,-

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Penataran
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_panataran

Makam Sunan Bayat




SEJARAH

ASAL-USUL SUNAN BAYAT
Pada pemerintahan PRABU BRAWIJAYA Raja Majapahit yang ke V merupakan zaman pengalihan. Pada masa itu islam mulai mengembangkan sayap demi kemajuannya, hal itu kerajaan Majapahit menjadi sasarn utamanya. Karena banyak pasukan islam yang menyerbu akhirnya Majapahit terdesak, Brawijawa memilih pergi dari Istana. Waktu itu Prabu Brawijaya masih menganut  agama Hindu. Dalam pelariannya itusampain di desa Sawer, beliau beremu dengan Sunan Kalijaga, oleh Sunan Kalijaga beliau disarankan pergi ke daerah Semarangdan menjadi Bupati Semarang dan di Semarang inilah beliau dididik oleh Sunan Kalijaga dan diberi sebutan Ki Ageng Padang Aran.
Karena Sunan Kalijaga merasa tugasnya mengajar Ki Ageng Pandang Aran selesai maka beliau (Sunan Kalijaga) meninggalkan Semarang untuk melanjutkan penyegaran agama Islam di  tempat lain. Setelah beberapa kurun waktu, Ki Ageng Padang Aran mencari Sunan Kalijaga gurunya di Jabalkat. Setelah pertemuan itu nama Sunan Padang Aran Bayat, untuk meneruskan penyebaan Agama Islam beserta para wali-walinya.

KI AGENG PADANG ARAN MENAIKI GUNUNG JABALKAT

            Setelah meninggalkan desa jiwo hanya beberapa ratus meter sudah menginjak kaki Gunung Jabalkat. Setelah sampai segera Ki Ageng Padang Aran naik ke atas gunung Jabalkat. Dengan menyebut Allah Ki Ageng Padang Aran terus naik ke Gunung Jabalkat. Setelah sampai puncak, Ki Ageng Padang Aran terdiam lama menunggu Sunan Kalijaga. Lalu Ki Ageng Padang Aran meminta petunjuk kepada Allah dan sesaat itu terlihatlah sosok tubuh serba hitam yang tak lain adalah Sunan Kalijaga.
            Mulai saat itu Ki Ageng Padang Aran tinggal di Jabalkat dan merasa mendapat perintah untuk membantu wali menyebarkan agama Islam.
            Lalu Ki Ageng Padang Aran juga mendirikan Masjid di puncak Gunung Jabalkat dan setiap hari Jum’at Legi ada Pasebokan/Saresehan. Dengan adanya pengajian Jumatan Legi ini masyarakat sekitar merasa diberi pencerahan. Maka rakyat sekitar mengenalnya dengan sebutan Ki Ageng Padang Aran yang berarti  Orang yang Memberi Penerangan. Dan tempat untuk berkumpul diberi nama Paseban. Sampai sekarang diabadikan menjadi nama dukuh/desa.
            Ki Ageng Padang Aran atau lebih dikenal Sunan Bayat yang giat menyebarkan Agama Islam, maka masyarakat sekitar menyebut Beliau sebagai “Wali ke-10”. Diluar jumlah Wali Songo yang ada Sembilan.


LOKASI


Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah,

Akses kesana sangat mudah. Dapat diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor bahkan hingga bus pariwisata. meskipun terletak di daerah pegunungan, namun sangat mudah untuk dijangkau karena ada beberapa rambu-rambu petunjuk arah yang menunjukkan lokasi makan Sunan Bayat.


ADA APA SAJA?

Makam Tembayat, makam dari Sunan Bayat yang terletak di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang terletak di atas perbukitan Gunung Jabalkat. Lokasi makam yang berada di ketinggian 860 meter dpl ini dapat dicapai dengan terlebih dahulu menaiki 250 anak tangga.

Dimulai dari pintu gerbang pertama adalah Gapura Segara Muncar, lalu Gapura Dhuda, dan pintu ketiga yaitu Gapura Pangrantungan. Gapura Pangrantungan berada di “garis finis” dari 250 anak tangga menuju makam. Di kompleks gapura ini terdapat Bangsal Nglebet (untuk tamu wanita) dan Bangsal Jawi (untuk pria) sebagai lokasi beristirahat dan menghela nafas setelah lelah menapaki anak tangga.
Di bangsal ini pula, pengunjung wajib mendaftarkan diri sebelum masuk ke area pemakaman. Pengunjung kembali harus mengeluarkan “uang donasi” di bangsal ini untuk biaya tiket. Dari bangsal ini pengunjung kemudian mengarah ke kompleks pemakaman sahabat Sunan dan kembali akan menemukan Gapura Panemut yang juga memiliki gaya bangunan Hindu.
Masuk lebih dalam lagi kita akan melewati Gapura Pamuncar, Gapura Balekencur, dan Gapura Prabayeksa, gapura terakhir sebelum memasuki makam Sunan. Dari gapura terakhir tadi pengunjung akan bertemu dengan seorang juru doa yang duduk di depan sebuah perapian yang terletak di bawah Regol Sinaga.

Juru doa ini adalah seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk memintakan izin dan mendoakan peziarah yang datang mengunjungi makam Sunan Bayat. Di kanan dan kiri Regol Sinaga yang berpintu tiga diletakan masing-masing sebuah gentong yang diberi nama Gentong Sinaga, yang dipercaya sebagai padasan atau tempat air wudhu Sunan Bayat

Beberapa peziarah yang datang atau meninggalkan makam Sunan selalu menyempatkan diri untuk meminum air dari dalam gentong atau menyimpan sedikit dalam botol untuk dibawa pulang. Dari Regol Sinaga pengunjung dapat langsung masuk ke dalam bangunan utama yang terdapat di puncak bukit ini.
Di dalam bangunan inilah Sunan Bayat dimakamkan. Makam Sunan Bayat terdapat di tengah bangunan tersembunyi dalam bilik kayu berbentuk persegi mirip seperti Ka’bah di Mekah. Banyak peziarah yang masuk, akan mengantri di samping makam untuk dapat mendekati makam Sunan. Beberapa dari mereka juga terlihat sibuk menyalin teks Jawa yang tertulis pada sebuah batu yang diletakan di samping makam.
Di samping makam Sunan Bayat terdapat dua makam istri Sunan Bayat yaitu Nyi Ageng Kali Wungu dan Nyi Ageng Krakitan. Sementara (bagian dalam) di depan pintu masuk bangunan utama terdapat beberapa makam sahabat-sahabat Sunan Bayat.

HARGA TIKET MASUK

Harga tiket masuknya Rp. 2000,-
Parkir sepeda motor Rp 2000,-
Parkir mobil: Rp. 5000,-


Sumber:
Buku paduan Sejarah Sunan Bayat yang dapat dibeli di lokasi seharga Rp 1500,-
http://chic-id.com/mari-berwisata-kompleks-pemakaman-sunan-bayat-di-gunung-jabalkat/



 
Rotating X-Steel Pointer